01 30th, 2013
PENDAHULUAN
Kemendikbud telah menyiapkan Kurikulum 2013 yang diklaim sebagai penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pada tahun 2006 lalu. Benarkah demikian? Hemat saya KTSP secara konsep jauh lebih baik, tapi dibiarkan gagal oleh Kemendikbud sendiri dengan tidak menyiapkan guru yang cakap dalam jumlah yang memadai.
Kurikulum 2013 dinyatakan sebagai respons terhadap perkembangan mutakhir sekaligus hasil sigi internasional seperti PISA, TIMSS dan PIRLS yang menempatkan warga muda Indonesia di papan bawah komunitas global di bidang matematika, sains, dan ketrampilan membaca.
Hemat saya, wacana Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan dua akar masalah pokok pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance) dan guru yang tidak kompeten. Otak-atik kurikulum jauh lebih gampang dan enak daripada memperbaiki tata kelola pendidikan dan menyiapkan guru yang kompeten.
Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu. Otak-atik kurikulum adalah cara gampangan yang tidak mendasar dalam perbaikan pendidikan Indonesia, dan sekaligus membiarkan ketidakcakapan dan ketidakberdayaan komunitas guru sebagai pintu masuk bagi intervensi politik dan pragmatisme proyek hingga ketingkat sekolah seperti pengadaan buku-buku wajib yang tidak bermutu tapi menghabiskan ratusan Milyar atau bahkan Triliunan Rupiah.
Banyak studi di dunia menunjukkan bahwa Tata Kelola Pendidikan yang buruk adalah sumber korupsi. Saat ini pengelolaan pendidikan Indonesia sangat centralised and executive-heavy sehingga terlalu berorientasi pasokan. Akibatnya pendidikan semakin tidak relevan dan kebutuhan murid yang beragam cenderung tidak diperhatikan. Amanat UU 20 tentang Sisdiknas pasal 38 terlanggar oleh praksis pendidikan saat ini apalagi oleh Kurikulum 2013.
Salah satu agenda penting dalam perbaikan Tata Kelola Pendidikan adalah desentralisasi dan diversifikasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang penting tidak saja dengan penguatan prakarsa Kabupaten dan Kota dalam pengelolaan pendidikan daerah, tapi juga penguatan organisasi profesi guru dan penguatan Dewan Pendidikan Daerah serta asosiasi wali murid (Parents Association) sebagai wakil konsumen pendidikan. Sertifikasi guru seharusnya dilakukan secara independen oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Kemendikbud atau LPTK.
Agenda setting pengelolaan pendidikan, termasuk evaluasi dan kurikulum baru, seharusnya dilakukan oleh Dewan Pendidikan Daerah setelah berkonsultasi dengan Asosiasi Wali Murid di daerah, bukan ditentukan oleh penerbit buku atau kontraktor proyek Kemendikbud dan Dinas Pendidikan Daerah. Dalam era otonomi dan demokrasi ini, Kemendikbud seharusnya tidak “segemuk” sekarang.
Di dasar analisis saya, wacana kurikulum sebagai taruhan bonus atau tagihan demografi dipijakkan pada paradigma sekolah : Memperbaiki kurikulum adalah memperbaiki sekolah, dan memperbaiki sekolah adalah memperbaiki pendidikan. Padahal belajar sebagai inti dari pendidikan sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Artinya, pendidikan universal yang bermakna tidak mungkin tercapai dengan mengandalkan sistem persekolahan, apalagi sekedar otak-atik kurikulum belaka. Fakta empiris Indonesia maupun global tidak membuktikan secara meyakinkan bahwa semakin banyak sekolah menjadikan masyarakat semakin terdidik.
PENDIDIKAN DI ERA INTERNET
Di era internet ini ternyata iman kebanyakan kita pada sekolah tidak tergoyahkan sama sekali. Oleh Mendikbud otak-atik kurikulum sebagai bagian penting sebuah sekolah seakan-akan menjadi taruhan besar bangsa ini. Padahal taruhan besar itu tidak di persekolahan, apalagi di kurikulum, tapi di pendidikan. Inti pendidikan adalah belajar. Tidak bersekolah tidak perlu membuat kita khawatir. Yang merisaukan adalah jika anak-anak tidak belajar.
Dengan internet belajar semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum. Membentuk karakter pun hanya bisa dilakukan secara efektif dengan praktek di luar sekolah. Selama beberapa dekade terakhir ini terlihat bahwa semakin banyak sekolah tidak menyebabkan masyarakat kita makin terdidik. Hasil sigi internasional terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga menunjukkan murid Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan membacanya juga tertinggal dibanding teman-teman sebayanya. Artinya, sekolah Indonesia tidak membekali murid dengan kompetensi yang penting untuk hidup di abad 21.
KURIKULUM
Kurikulum adalah serangkaian hasil belajar yang diharapkan, dan seluruh proses yang menghasilkan pengalaman belajar, serta mekanisme evaluasi hasil belajar murid di bawah panduan guru di sekolah. Jadi kurikulum adalah atribut penting sistem persekolahan. Segera perlu dicatat bahwa mekanisme evaluasi merupakan komponen kurikulum yang penting. Salah satu penyebab kegagalan KTSP adalah Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan sehingga menggiring proses belajar yang tidak pernah menghasilkan hasil belajar yang diharapkan. Kurikulum 2013 akan digagalkan oleh Ujian Nasional yang sama, kecuali jika dilakukan reposisi Ujian Nasional.
Siapa yang membutuhkan kurikulum? Sekolah, Yayasan pengelola sekolah, guru yang bekerja di sekolah, Dinas Pendidikan, Kemendikbud, para ahli kurikulum, dan penerbit yang mau mencetak buku wajib yang akan dipakai di sekolah. Asumsi dasar pada setiap penyusunan kurikulum adalah bahwa anak akan mencapai prestasi belajar maksimal jika melalui serangkaian instruksi dan lingkungan buatan, serta mekanisme evaluasi yang terstruktur dan terencana. Saya berkeyakinan asumsi ini agak meremehkan kecanggihan manusia beserta semua perangkat belajarnya yang telah diciptakan oleh Tuhan sebagai ciptaan terbaik. Manusia bisa belajar dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi yang paling getir sekalipun. Bahkan manusia belajar jauh lebih banyak dari pengalamannya di luar sekolah.
Murid sekolah sebenarnya tidak membutuhkan kurikulum resmi yang kaku. Bahkan anak yang cerdas sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Kebanyakan anak-anak kita sebenarnya cerdas. Di banyak sekolah kecerdasan mereka sering diremehkan oleh proses belajar yang tidak menantang yang disajikan oleh guru yang tidak kompeten. Kecerdasan merekapun sering diukur oleh instrumen yang tidak cocok, seperti tes pilihan ganda. Puncak penghinaan atas kecerdasan ini adalah Ujian Nasional yang dibantu oleh mesin pemindai ikut-ikutan menentukan kelulusan mereka. Akibat proses yang salah ini, kecerdasan anak-anak ini justru menurun dan mereka justru kehilangan jati diri dan percaya diri.
Di Sulawesi Selatan, anak nelayan yang cerdas tidak pergi ke sekolah, tapi membantu ayahnya melaut mencari ikan. Anak yang tidak terlalu cerdas justru disuruh ke sekolah. Para nelayan Bugis itu secara intuitif tahu bahwa bagi anak yang cerdas, tidak banyak yang bisa dipelajari di sekolah. Gejala seperti ini terjadi juga di Madura. Statistik yang menyatakan bahwa lama bersekolah menunjukkan tingkat keterdidikan seseorang atau suatu daerah tidak sepenuhnya benar. Asumsi statistik itu adalah semakin lama bersekolah makin baik dan makin terdidik. Asumsi ini harus dipertanyakan.
Sesungguhnya hanya anak yang malas dan berkebutuhan khusus yang memerlukan kurikulum yang “well-designed” oleh para teknokrat ahli. Anak-anak normal tidak membutuhkannya. Dengan bermain di ruang terbuka dan di alam anak-anak belajar jauh lebih banyak daripada di kelas yang sempit di sebuah tempat yang kita sebut sekolah. Neurosains menemukan bahwa ruang kelas adalah tempat paling buruk bagi proses belajar. Bekal terpenting bagi anak-anak normal ini adalah akhlaq yang baik, kegemaran membaca, ketrampilan menulis, berhitung, berbicara dan kesempatan praktek yang memadai bagi ketrampilan-ketrampilan untuk hidup secara produktif.
SCHOOLISM
Kita sudah kecanduan sekolah sehingga tidak mampu membayangkan dunia tanpa sekolah. Padahal masyarakat tanpa sekolah itu ada dan pernah ada dengan kualitas kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebuah schooled society yang dengan congkak kita sebut modern ini. Masyarakat adat yang jauh dari sekolah yang ada di daerah pedalaman lebih tahu caranya hidup bersahabat dengan alam daripada masyarakat Jakarta yang tidak tahu caranya membuang sampah. Tapi orang kota memandang remeh masyarakat adat sebagai kampungan dan terbelakang.
Dalam perspektif sejarah, sekolah semula dibuat untuk menyiapkan buruh yang akan mengisi pabrik-pabrik yang tumbuh akibat revolusi industri di Inggris sekitar abad 17 setelah James Watt menemukan mesin uap. Sebelum itu masyarakat tidak mengenal sekolah. Tradisi universitas muncul jauh mendahului tradisi sekolah. Oxford, Cambridge umurnya sudah 700 tahun. Baitul Hikmah di Baghdad ada beberapa ratus tahun sebelum Oxford. Sebelum pergi ke universitas masyarakat pra-revolusi industri praktis belajar secara otodidak atau melalui proses belajar non-formal atau bahkan informal. Yang dikenal hanya ijazah sarjana, magister atau doktor. Itupun diberikan jika mahasiswanya meminta. Jadi, sekolah adalah fenomena yang umurnya kurang dari 200 tahun. Dalam 200 tahun itulah proses perusakan ekosistem global terjadi secara masif yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah evolusi manusia.
JEJARING BELAJAR
Untuk memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang diperlukan bukan pembesaran sistem persekolahan. Yang diperlukan adalah pengembangan sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur, luwes, lebih non-formal, bahkan informal. Sekolah hanya salah satu simpul dalam jejaring belajar tsb. Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit, perpustakaan kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil, dan masjid dapat menjadi simpul-simpul belajar. Simpul belajar yang pertama dan utama adalah keluarga di rumah. Bukti kompetensi bisa ditunjukkan dengan sertifikat kompetensi profesi yang diterbitkan oleh asosiasi profesi, bukan dengan ijazah. Namun syarat-syarat formalistik inipun sebaiknya diberlakukan secara sukarela. Sertifikat kompetensi bisa menjadi indikator kompetensi yang lebih baik daripada ijazah.
Kegagalan sistem persekolahan ditunjukkan secara gamblang di abad 21 di depan mata kita oleh krisis hutang (pribadi, korporasi dan negara) di Amerika Serikat dan Eropa yang dengan kekaguman kita sebut modern itu. AS adalah negara dengan hutang terbesar di dunia. Keberlimpahan “negara kesatu” itu ternyata dicapai melalui hutang untuk membiayai gaya hidup yang sangat konsumtif, boros energi dan merusak lingkungan. Padahal baik AS maupun Eropa adalah masyarakat yang “paling bersekolah” dengan “kurikulum yang paling canggih”.
Formalisme kronis persekolahan harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh Illich ini disebut deschooling. Saat ini di Indonesia schoolism sudah pada tingkat yang berbahaya. TK saja mengeluarkan ijazah. Ijazah seolah menjadi bukti kompetensi seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti bahwa memang masyarakat lebih membutuhkan ijazah daripada kompetensi. Hanya yang butuh ijazah yang butuh sekolah. Kita yang tidak butuh ijazah tidak butuh sekolah, apalagi kurikulum. Tanpa kurikulum resmi sekolah akan baik-baik saja. Tanpa sekolahpun kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh mulai khawatir kalau kita tidak belajar.
PENUTUP
Hiruk pikuk Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan masalah pokok pendidikan Indonesia : tata kelola yang buruk dan guru yang tidak cakap. Jikapun kita masih percaya dan membutuhkan sekolah, kita tidak membutuhkan kurikulum baru. KTSP dan Standar Nasional Pendidikan secara konsep sudah memadai dan memberi ruang bagi diversifikasi dan inovasi.
Yang kita butuhkan adalah guru-guru yang cakap yang bersama Komite Sekolah mengembangkan kurikulum yang cocok dengan potensi daerah yang unik, dan relevan dengan kebutuhan murid sebagai subyek yang cerdas yang unik pula. Kita membutuhkan guru yang cakap yang menghargai kecerdasan murid-muridnya, yang dapat kita percayai untuk mengevaluasi penguasaan kompetensi murid-muridnya secara multi-ranah multi-cerdas. Kita tidak membutuhkan guru pemalas dan tidak bertanggungjawab yang mengevaluasi murid-muridnya dengan tes tulis pilihan-ganda yang bisa diserahkan kepada mesin pemindai.
Jika pendidikan hendak kita jadikan sebagai strategi kebudayaan, maka yang kita harus kerjakan adalah membangun dan menghargai tradisi otodidak. Kita harus mengurangi kecenderungan sekolah memonopoli pendidikan, merampasnya dari tanggungjawab pribadi dan keluarga. Kesaktian kurikulum dan sekolah hanyalah mitos belaka.
Catatan Penulis : Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph D adalah guru besar pada Jurusan Teknik Kelautan I T S , mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cabang Surabaya.