قَالَ اللهُ تَعَالَى: (فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ). (Ali Imran(03): 159)
وَقَالَ تَعَالَى: (لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ).
(At-Taubah(09): 128)
Keterbukaan hati menerima perbedaan dan kekurangan, mendengar sanggahan, memaafkan kesalahan, dan cinta damai, kunci utama keberhasilan dakwah. Yang terbuka hatinya mampu menyikapi dan memecahkan masalah, meluruskan yang bengkok dan menyambung yang patah, mengayomi dengan bijak, merangkul yang jauh, menghangatkan suasana, menyakini titik temu (sikap dan pikir) terdapat di pelbagai pintu kehidupan, sementara titik beda dapat diperkecil lobangnya, ditutup rapat dan ditimbun dengan benih-benih kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.
Rasulullah Saw hamba Allah SWT yang paling terbuka menyikapi kehidupan; terbuka mendengarkan keluh-kesah umat, meski itu datang dari rakyat jelata, terbuka menerima perbedaan, meski itu datang dari musuh-musuh Islam yang tidak diragukan lagi kebencian dan kedengkian mereka terhadap keberhasilan dakwahnya, merangkul semua pecinta dan perindunya dari sahabat tanpa membedakan kasta dan derajat sosial mereka, terbuka menerima ejekan dan penghinaan yang lahir dari kebodohan mereka terhadap hakikat syariat, dan terbuka memberi maaf, meski itu sulit dimaafkan menurut kita, orang-orang awam.
Seseorang yang terbuka menerima perbedaan, boleh jadi menemukan kejanggalan di hatinya tatkala ingin memberi maaf. Dia dengan ringan membuka hati mendengar dalil dan argumen lawan, tetapi belum tentu hatinya lapang memaafkan orang-orang yang pernah menginjak-injak kehormatan dirinya. Telinga tidak punya beban menyimak, tetapi lidah kadang terasa berat mengucap kata maaf dan tangan seperti terpaku oleh sikap dingin yang enggan diulurkan memberi maaf. Tetapi, fitrah Rasulullah Saw melampaui semua sifat-sifat tersebut yang lumrah ditemukan di masyarakat awam dan mencontohkan keterbukaannya untuk diteladani umat di kemudian hari. Sungguh, ini keistimewaan tersendiri terhadap etika gaul dan muamalah Rasulullah Saw yang menakjubkan.
Perang uhud salah satu kejadian yang paling berat dirasakan Rasulullah Saw, tetapi yang terberat dari itu, seperti penuturan Sayyidah Aisyah RA, kejadian hari Aqabah di saat Ibn Abdu Yâlil bin Abdu Kulâl dan orang-orang musyrik menolak ajakannya memeluk Islam. Kejadian pahit ini melukahi perasaannya sehingga itu terlihat dengan jelas di mukanya yang dirundung duka. Jibril AS pun mendatanginya dan berkata: “Sesungguhnya Allah SWT mendengar dan mengetahui sikap mereka yang enggan menerima dakwah Islam. Olehnya itu, Allah mengutus malaikat gunung-gunung untuk mengikuti apa pun yang Anda perintahkan.” Malaikat itu pun memberi salam dan berkata: “Wahai Muhammad, Jika Anda menginginkan kehancuran mereka, saya dapat mengurung dan menjepit mereka dengan kedua pegunungan besar dan panjang yang mengitari kota Mekah.” Jawabnya: “yang saya inginkan, Allah SWT akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka keturunan yang menyembah Allah SWT dan menyucikan-Nya dari kemusyrikan.” (Hadits riwayat Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Tentunya, ini keistimewaan tersendiri terhadapnya. Umumnya, yang dizalimi jika ditawari tawaran seperti ini, ia akan menerima dan menghitungnya sebagai kelebihan tersendiri terhadap dirinya. Bahkan tidak sedikit nabi-nabi Allah SWT yang menginginkan kemusnahan kaum mereka yang tidak beriman. Tetapi Rasulullah Saw mengukir sejarah tunggal yang mengabadikan namanya sebagai nabi yang paling peduli dan pemaaf terhadap kaumnya, meskipun penyiksaan dan pembangkangan mereka di luar batas kemanusiaan. Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi jika sikap keras kepala mereka diabaikan Rasulullah Saw dan dijawab dengan doa pengampunan terhadap mereka: “Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui hakikat agama yang aku emban.” (Hadits riwayat Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Rasulullah Saw telah mengasihani dan menyanyangi kita, tetapi apakah pernah kita memikirkan itu dan tersentuh olehnya? Sekarang, jawablah kasih sayang tersebut dengan meneladaninya di setiap kesempatan.
Yang diketahui juga Rasulullah Saw keluar terusir dari kota Mekah di malam hari dan kembali menaklukkannya di siang hari setelah menghancurkan patung-patung yang tergantung mengotori Ka’bah. Masyarakat Mekah panik dan takut melihat kejadian tersebut seperti tidak percaya apa yang sedang ditonton oleh mata telanjang mereka. Rasulullah Saw dengan ringan bertanya: “apa yang engkau sekalian kira aku akan menjatuhkannya kepadamu?” mereka dengan etika diplomasi mengharap keringanan dan maaf menjawab: “saudara (maksudnya Rasulullah Saw) mulia dan anak dari saudara kami yang mulia,” ucapan ini cukup menggugah dan menyentuh hati Rasulullah Saw yang mendorongnya bersikap lunak dan bersaudara terhadap mereka dan memberi pernyataan maaf yang tidak pernah hilang dari ingatan umat: “pergilah, kalian semua dibebaskan, selamat dan terjaga harta dan kehormatan kalian untuk disentuh dan dikotori.” Rumah-rumah masyarakat Mekah yang terkunci rapat dan takut invasi Rasulullah Saw, kini terbuka lebar menerima kedatangannya dan mereka pun berbondong-bondong membaiatnya.”
Memberi maaf kadang memberi sentuhan kehidupan yang tidak terduga dan itu menjadi perekat sosial yang menumbuhkembangkan rasa cinta dan kasih sayang antar sesama. Siapa yang menduga telinganya akan terkorek oleh ucapan maaf dari orang yang pernah ia sakiti? Siapa yang mengira tangannya akan terguncang hebat dijabat oleh orang yang pernah ia zalimi memberi maaf? Di sini Rasulullah Saw telah menjadi obor terang kehidupan yang mencontohkan sifat ringan memberi maaf yang melahirkan ketentraman sosial di antara elemen masyarakat.
Jangan kira meminta maaf itu meruntuhkan kehormatan jati diri karena takut dipandang remeh, justru itu langkah awal yang menyuguhkan kebaikan-kebaikan yang tidak terduga! Jangan kira memberi maaf itu kemuliaan diri Anda sendiri, tetapi itu salah satu bentuk kepatuhan Anda terhadap teks-teks syariat yang menganjurkan Anda memberi maaf dengan ikhlas karena Allah! Yang demikian itu supaya pahala Anda tidak runtuh hanya karena dikendarai rasa puji diri.
Contoh lain, di Sunan Imam Abu Daud Rasulullah Saw ditemani Sayyidina Anas RA di sebuah perjalanan, tiba-tiba dikagetkan oleh sosok bayangan yang menyambar sekilat petir selendang Nejeran Rasulullah Saw yang melilit kuat di lehernya sehingga meninggalkan bekas merah di lehernya. Yang bersama dengan Rasulullah Saw dari sahabat tidak menerima perbuatan tersebut dan ingin balik memberikan pelajaran terhadap orang tersebut yang tidak terlupakan dalam lembaran-lembaran hidupnya. Namun, Rasulullah Saw menengoknya dan memberi senyum kesejukan yang mengusir rasa takut dalam dirinya dan memerintahkan selendang Nejerannya itu untuk dihadiahkan untuknya. Seandainya saja orang tersebut dilukai sahabat atau dibunuh karena praduga salah, orang ini akan terzalimi dan semuanya pun ikut bersalah. Sikap dingin Rasulullah Saw ini memecah keheningan suasana dengan kehangatan senyumnya yang menyejukkan hati.
Seperti yang diriwayatkan Shahih Imam Muslim, Rasulullah Saw tidak pernah memukul sesuatu di tangannya, seorang perempuan atau hamba sahaya, kecuali di jalan Allah SWT berjihad. Yang demikian itu karena tangan identik dengan kekerasan, sementara itu, Rasulullah Saw tidak pernah ditemukan melakukan balas dendam hanya karena kepentingan dirinya sendiri, tetapi dia ditemukan melakukannya jika kehormatan Allah SWT telah dinodai dan diinjak-injak.
Sungguh ini sebuah keistimewaan yang luar biasa. Hematnya, tidak ada satu pun dari pemerhati nilai-nilai kemanusiaan kecuali tunduk mengakui keistimewaan ini yang menempatkan Rasulullah Saw sebagai “the greatest one” yang paling bersinar memaknai dan mewarnai kehidupan dengan nilai-nilai islami. Hal yang sama ditemukan di Sayyidina Ali RA yang tidak menghujani musuh yang meludahi mukanya setelah kalah tanding dengan tikaman dan tebasan pedang. Yang demikian itu Sayyidina Ali RA takut orang tersebut terbunuh dengan zalim, terbunuh dengan motif balas dendam yang dipengaruhi hawa nafsu, bukan karena Allah SWT semata di jalan jihad. Sikap jantan dan luar biasa ini menuntun musuhnya memeluluk Islam dan mengakui keagungan dan keindahannya. Alhamdulillah yang memperlihatkan kilauan kebenaran hakikat agama ini di tangan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Mereka menyakini bahwa yang kuat itu bukan yang keras kepalan tangannya meninju atau menampar, tetapi yang kuat itu yang mampu menguasai diri dan mengendalikan emosinya di saat marah.
Hematnya, Rasulullah Saw telah memberi gambaran hidup terhadap teks-teks syariat yang menganjurkan keterbukaan memberi maaf. Olehnya itu, ia disifati sebagai pengemban syariat Allah yang berakhlak mulia, punya kedudukan paling tinggi di sisi Allah SWT. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw hamba terbaik dalam menafsirkan dan memaknai nama-nama Allah yang terkait dengan tema ini, seperti: (الرحمن), (الرحيم), (الغفار), (الكريم), (الغفار), (العفو), (الرؤوف).
Olehnya itu, maaf-memaafkan terhitung rukun lingkungan masyarakat yang menjaga roda sosial tetap berjalan dengan penuh keseimbangan di atas rel kehidupan. Dia tiang dan sandaran yang tidak pernah roboh menopang bagi siapa saja yang ingin menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Yang demikian itu karena seandainya setiap orang yang dizalimi mengikuti nafsunya balas dendam, maka masyarakat ini akan runtuh. Satu penumpang saja melakukan kerusakan di kapal dengan membuka papan-papan sandarannya atau mencopot tiang layarnya, dipastikan semua penumpangnya terancam ombak yang setiap waktu siap menelan korban. Apalagi jika yang melakukannya lebih dari satu orang. Jika setetes darah saja mengalir dari satu orang yang dizalimi mewariskan pilu dan sedih, bagaimana jika darah itu mengucur kuat dari korban-korban kekerasan yang menindas?
Sadar hal ini, wajib bagi setiap lapisan masyarakat saling memaafkan, menempatkan kebaikan di atas segala-galanya, menjadikan santun ganti dari amarah, membongkar kata hati yang menghembuskan niat-niat jahat dengan sabar. Masyarakat seperti ini masyarakat mulia yang membangun stabilitas keamanan dan kekokohannya dengan menciptakan solidaritas persatuan dan persaudaraan yang kuat. Masyarakat islami yang didambakan para pecinta masyarakat ideal dari kalangan pemikir dan orientalis Eropa.
Memberi maaf seperti yang diriwayatkan hadits-hadits nabi memiliki kemuliaan yang tidak terhingga. Dia mewariskan keagungan, kasih sayang antar sesama, mengangkat derajat, menghapus keburukan, dan menjanjikan pahala yang besarnya hanya diketahui Allah SWT.
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak pemerhati keistimewaan Rasulullah Saw menyuarakan kesimpulan berikut:
“Memberi maaf tidak mewariskan kecuali kebaikan dan kemuliaan. Masyarakat islami yang ideal masyarakat yang hidup bersandarkan dan berpegangan dengan sifat mulia ini. Memberi maaf sangat mulia karena ia tafsiran kuat dan pemaknaan tinggi terhadap nama-nama Allah, seperti: (الرحمن), (الرحيم), (الغفار), (الكريم), (الغفار), (العفو), (الرؤوف). Karena Rasulullah Saw hamba Allah yang paling baik menafsirkan dan memaknai Asmaullahi al-Husna, ia pun pemakna dan penafsir tidak tertandingi dalam menghidupkan maaf-memaafkan ( الصفح,العفو) seperti yang diperintahkan teks-teks syariat yang memenuhi ruang-ruang kehidupan dengan persaudaraan dan persatuan yang kokoh sehingga semua lapisan masyarakat terpadu meraih kesejahteraan dan keselamatan dunia-akhirat. Keistimewaan Rasulullah Saw ini patut disyukuri dan lebih mendekatkan diri kita ke pengamalan sunnah-sunnahya. Amin ya Rabbal Alamin.”