Hidup itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum.” Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, “Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara.” Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei 1984.
Sebagai
think thank di balik pemerintahan Orde Baru,
Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Pada 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “
Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).
Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924, itu tak terdengar mempunyai hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo – seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO – dijuluki sementara pengamat sebagai man of opinion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan.
“Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP, bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata Jepang saja: sayonara”.
“Baru pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintara, saya memimpikan menjadi kapten. “Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten,” doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata, “Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat.” Tapi promosi saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora. Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa dan negara, berarti saya telah berkhianat”.
Pada tahun 1961, dialah yang memimpin Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966), Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalam upaya menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B. Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan menjadi cap dari segala kegiatan operasi inteligen, tak hanya di bidang militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama Itu begitu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai “suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya”. Itu sebabnya, sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira tinggi inteligen yang amat berpengaruh.
Mungkin lantaran sudah percaya, sekali waktu sebagai Kepala Opsus itulah Ali Moertopo rupanya diserahi lagi tugas oleh Pak Harto, namun kali ini tugasnya ialah rekayasa politik yang dikenal pula dengan sebutan penggalangan (
conditioning), rekayasa dari atas (
engineering from above).
Rekayasa politik pada waktu itu memang mutlak kita butuhkan karena Angkatan Darat menghadapi bahaya selain PKI, kekuasaan Bung Karno, dan juga masyarakat Nasakom. Kita ini saat itu boleh dikata berjuang sendirian, tak ada teman, sementara kekuatan-kekuatan yang anti-PKI –yakni PSI dan Masjumi—jauh sebelumnya sudah dibubarkan oleh Bung Karno.
Sementara dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1971, Kino-Kino sendiri, khususnya yang tergabung dalam Trikarya, tidak tampak memainkan partisipasi aktif dalam proses kampanye. Sekber Golkar lebih banyak dikelola oleh kelompok Ali Moertopo, Hankam, dan Menteri Dalam Negeri; khususnya dua yang pertama.
Operasi-operasi Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan interensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai, untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, sehingga pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Operasi penggalangan oleh Opsus juga guna menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.
Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia).
Rekayasa terhadap kalangan Islam juga cukup terkemuka, yakni bagaimana Opsus melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis masa dari bekas-bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.
Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial.
Sehingga policy umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, sambil secara amat berhati-hati mencegah naiknya sayap Islam.
Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo.
Semua partai direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua organisasi yang ada. Pada kondisi saat itu, rekayasa semacam ini tak bisa disalahkan, bahkan walaupun saya tidak terlibat, secara obyektif saya menilai Ali Moertopo sangat besar jasanya, bahwa rekayasa-rekayasa yang dilakukan oleh Ali Moertopo memang amat diperlukan.
Operasi semacam itu dimaksudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrstruktur politik (untuk mendobrak infrastruktur politik yang berorientasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan fungsional. Lha, bagaimana Pak Harto sebagai pemegang SP-11 mampu melaksanakan tugasnyakalau MPR/DPR-nya masih dominan Nasakom? Tentu tidak mungkin. Seperti PNI, walaupun partai tersebut anti-PKI tetapi PNI ada masalah dengan Bung Karno karena memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno. Waktu itu PKI juga meniupkan isu bahwa Angkatan Darat mau mengadakan kup terhadap Bung Karno. Akibatnya PNI bukan main curiganya terhadap Angkatan Darat, termasuk kecurigaan yang datang dari angkatan-angkatan lain yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Polri.
Tidak dapat disangsikan lagi, Ali Moertopo adalah tokoh yang berperanan amat penting dalam sukses Golkar pada pemilihan umum 1971, sekaligus membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas conditioning, dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan ekstrim mana pun. Sejarah kemudian mencatat Opsus-nya Ali memainkan peranan yang menonjol dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.
Bidang garapan Opsus sangat luas meliputi aspek ekonomi, intelijen, sampai melaksanakan penyelundupan bear-besaran. Tahun 1970-an organisasi ini pernah melakukan penyelundupan besar-besaran agar barang di dalam negeri menjadi murah. Waktu itu menjelang lebaran, beberapa kapal masuk dari Singapura menyelundupkan tekstil dan baju jadi.
Di Opsus, Ali Moertopo memiliki sejumlah orang kepercayaan. Tangan kanan Ali di bidang keuangan adalah Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” cari uang. Saudara Giyanto dikatakan yang tahu di mana disimpannya uang-uang Opsus di luar negeri. Bidang operasi Kolonel Sumardan, sementara Kol. Pitut Soeharto bidang penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU, dan bekas DI. Di bagian pembinaan umat Islam ini, Pitut membina umat yang belum tergabung dalam suatu organisasi atau mereka yang masih liar. Bekas-bekas Darul Islam, umpamanya, itu urusan Pitut.
Sebagai gambaran mengenai sepak-terjang unsur-unsur Opsus, seorang bekas sejawat Pitut belakangan mengatakan, “Saya tidak senang dengan cara main Pitut, sebab bisa hancur sendiri. Ia terlalu banyak manuver, membohongi orang di sana-sini, tak malu walau ketahuan, air mukanya tetap biasa saja. Saya tidak mau begitu, nanti tidak punya sahabat. Buktinya sekarang, saat sudah bukan apa-apa lagi maka orang enggan menemuinya, sekadar menengok sekalipun.”
Mengikuti pola di dalam pengorganisasian intelijen, keanggotaan Opsus terbagi dua, di samping ada anggota organik (member of the organization) juga terdapat anggota jaring (member of the net). Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di sini biasanya dengan motivasi mencari uang atau sekedar advonturisme.
Yang termasuk anggota organik Opsus antara lain Pitut Soeharto, Letkol Utomo, Utoro SH. Sedangkan yang tergolong anggota jaring ialah Bambang Trisulo, Leo Tomasoa, Lim Bian Koen, Liem Bian Kie, Monang Pasaribu, Daoed Joesoef, dr. Suryanto, dan banyak yang lainnya lagi. Abdul Gafur disebut-sebut sebagai salah seorang bekas anggota jaring Opsus dan sempat dekat dengan lembaga studi tertentu, namun belakangan renggang.
Dana untuk Opsus besar sekali dan nyaris tak terbatas, entah dari mana dapatnya, di samping dari “usaha” sendiri yang dilakukan oleh para anggota organisasi, Soedjono Hoemardani juga biasa “mengusahakan” pendanaan bagi Opsus. Jadi kalau sepintas terlihat bahwa Opsus begitu kuat, antara lain berkat kuatnya dukungan pembiayan. Berapa persisnya anggaran Opsus, kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas di bawah Ali Moertopo organisasi tersebut kelihatan kaya-raya dan dana mereka jauh lebih banyak dari yang dipunyai oleh intel Kopkamtib misalnya.
Berani dan suka nekad, serta lebih banyak menuruti kemauan sendiri: itulah Ali! Sehingga banyak sekali kegiatan Ali Moertopo atau bawahannya yang tidak sinkron dengan kegiatan anggota-anggota Bakin lainnya. Langkah-langkah Ali Moertopo menjadi selalu kurang pas dengan apa yang digariskan Jenderal Sutopo Juwono sebagai Ka Bakin. Seperti masalah penggalangan bekas-bekas DI Jawa Barat. Lantaran Bakin melarang, maka yang membina kemudian adalah Opsus. Oleh Jenderal Topo itu dinilai sudah melanggar, karena Ali Moertopo sebagai deputi Bakin tidak lagi mendengarkan kata-kata atasannya.
Para bekas DI semula dibina oleh Kodam Siliwangi supaya mereka jangan melakukan gerakan-gerakan lagi. Tapi sekonyong-konyong ditarik oleh Ali Moertopo ke Jakarta, namun dalam hal ini Kodam Siliwangi tidak bisa beruat apa-apa. Sedari itu hubungan Siliwangi dengan Ali Moertopo menjadi kurang baik.
Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” Belakangan Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun.
Pemanfaatan kelompok bekas-bekas DI/TII agaknya memang dianggap menguntungkan. Melalui pola “Pancing dan Jaring” para bekas DI itu dikumpulkan lantas dikorbankan (dikirim ke bui) melalui sebuah peristiwa yang semakin mengesankan bahwa Islam senantiasa berkelahi dengan ABRI, senantiasa memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam.
Kelak semua rekayasa dan kerusuhan politik akan terjadi dengan memanfaatkan para bekas DI/TII yang telah digalang itu (“dipancing dan dijaring”): Peristiwa 15 Januari dengan mengorbankan kelompok Ramadi (Ramadi sendiri santer diberitakan mati secara misterius di RSPAD Gatot Subroto), Peristiwa Komando Jihad yang antara lain membawa kematian pada diri Danu Mohammad Hassan, Peristiwa Lapangan Banteng, Peristiwa Woyla. Alhasil, semua kerusuhan itu pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen.
“Rakyat ibarat singa sirkus, jika perut mereka kenyang mereka akan mau diperintah apa saja, tetapi jika perut mereka lapar, mereka tidak segan-segan memangsa pawangnya sendiri” (Letnan Jenderal Ali Moertopo)
Ali Moertopo, tokoh yang dipuja tapi juga dibenci oleh lawan politiknya, betapapun, merupakan suatu bab penting dalam riwayat Orde Baru.
Referensi :
- Untold Story / the X files Oleh : Syaifudin Bidakara (cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 44-50: 6
- “Saya Memang Ikut” Majalah Tempo Edisi 28 Januari 1984
- “Meninggal Dunia” Majalah Tempo Edisi 26 Mei 1984
- “Ia Berani Melawan Arus“, Majalah Tempo Edisi 26 Mei 1984