Jawa: Suharta; Jawa
Latin: Suhartå; Hanacaraka: (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan
Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008
pada umur 86 tahun) adalah Presiden ke-dua Indonesia yang yang menjabat dari
tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama
di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The
Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang
Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi
presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan
Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September
1965, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan
memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000
jiwa.
Soeharto kemudian
mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun
1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988,1993, dan
1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada
tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998
danpendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama
yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J.
Habibie.
Peninggalan Soeharto
masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde
Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan
infrastruktur Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan
Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korups
sepanjang masa, dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar.[7] Usaha
untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah
menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi
di Jakarta, pada tanggal 27 Januari 2008.
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Keluarga Soeharto
Pada saat itu keluarga
Prawirowihardjo, orang tua angkatnya mengutus Mbok Bongkek sebagai pembawa
pesan lamaran disertai foto Soeharto yang ketika itu berusia sekitar 26 tahun.
Akhirnya, ia resmi menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT
Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan
Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan
Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia
Soeharto 26 tahun danSiti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia
enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto,
Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy),
dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Awal hidup dan
pendidikan
Pada 8 Juni 1921,
Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk,
Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu
dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah
Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias
Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga
Kertosudiro dengan Sukirah yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri
pertama, Kertosudiro yang menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu,
dikaruniai dua anak. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama.
Keduanya bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi
dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari,
bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa
menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan
berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong
Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak
pernah dilupakan Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau
saat membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin.
Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar,
Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto
sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD
Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke
Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro,
Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan
seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra
paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto
kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia
juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani
tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang
mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah,
Soeharto belajar mengaji di sanggar bersama teman-temannya. Belajar mengaji
bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul
Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan
Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah
Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah
lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah
Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan pegawai
kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama
terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak,
Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk
mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk untuk
melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di
Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung
dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto
sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan
keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto
pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke
rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada
sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun
1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands
Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan
diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh
hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto
kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia
diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam
bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima
pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara,
Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan
pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia
dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan
Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian
menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori
Jepangyang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor,
dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang
Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan
pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi
penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai
Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota
Makassaryang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia
ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama
enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada
Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera
melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam
untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32
tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan
Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni
1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV
Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima
Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan
menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga
sempat mewarnai perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal
Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959
tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk
meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa
ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[butuh rujukan]. Atas saran
Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf
dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38
tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan
pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian,
dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961,
jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang
telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya
sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut,
ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia diBeograd,
Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan
menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di
Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat
menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution.
Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun
kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai
Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto
dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima
Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi
G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3
Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini
memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang
dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik ke kekuasaan
Kenetralan sebagian
atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan.
Silakan melihat
pembicaraan di halaman diskusi artikel ini.
Pergantian tampuk
pimpinan
pemerintahan
Indonesia.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Gerakan
30 September
Pada pagi hari 1
Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah
Letnan Kolonel Untung Syamsuribersama pasukan lain menculik dan membunuh enam
orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai
Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil
lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta
adalah Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto
ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu.
Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa
mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang
direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada
"Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera
ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi
resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa
Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui
keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di
Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka
Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan
turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) dari
Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat
kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno,
penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30
September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai
langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan
pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di
mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar
Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno
untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur
komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu
"tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam
penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa
mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah
menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas
anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu
merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin
membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan
saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras
pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang
peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang
bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam
rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik
sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga
jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar
adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan
yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik
yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret
1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang
empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS
No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No
XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari
Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto
ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil
pemilihan umum.
Jenderal Soeharto
ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah
pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian,
Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No
XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap
jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat
ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968
diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I.
Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang
terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh
Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs
Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971,
presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9
kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan
kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden
oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan
yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai
wakil presiden.
Pada usia 55 tahun,
Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974).
Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai
seorang penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya
mulai menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang
terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian
meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978,
Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik
sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali
Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden.
Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak
Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto
mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga
menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri.
Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan
sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat
politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto
membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan
sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok
dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam
semua keputusan politik.
Jendral Soeharto
dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen -
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi
Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan
massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam
kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh
negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar
tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA
melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka.
Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim
Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai
akhir1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang
besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto
mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New
York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau
"orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967
Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara.
Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk
masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota
MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh
pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia
benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta
nasihat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai
"mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah
mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar
negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini,
kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial
politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan
partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai presiden
Gambar Presiden
Soeharto pada uang pecahan 50.000
Roma, Italia, 14
November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit
tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan
yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden
Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di
dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia
menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk
diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di
bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh
bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO
mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas
pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau
dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada
tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan
Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras
minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10
Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima
kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata
dunia tertuju lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan
program kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam
penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New
York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika
pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN
Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan
itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di
Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68
pada 8 Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat
bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut
mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa
kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk
domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul
Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya,
Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah
tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat,
Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto
mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi
menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah,
di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara
kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai
presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu
ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember
1989.
Sebab itu, pada 14
September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk
memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina.
Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10
Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali
berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika
dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada
kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio
Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6
Desember 1995).
Soeharto yang
mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi
presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun.
Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali
sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya
meninggal dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika
usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali
tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode
1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar
saat berusia 76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli 1996,
Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua
hari kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
Upaya mengatasi krisis
dan meredam oposisi
Krisis moneter yang
melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu
menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta
bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan
badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi
gejolak krisis moneter (29 November 1997).
Di tengah krisis
ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998,
MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof
Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan
seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para
pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam
rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan
untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan
dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden
Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak
akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang
ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei
1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem
kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan
negeri.
Hanya berselang 70 hari
setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya,
Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto
lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat),
Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat
itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998
menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya
semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke
seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai
tempat. Mahasiswa Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus
mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan
artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis.
Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa
Trisakti.
Sehari kemudian,
tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke
kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga.
Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio,
televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan
suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta)
dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden
Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan
udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk
mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998,
Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsure
pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul
Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998,
ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring
dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas
adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996.
Angkatan
1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan
Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang,
mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi
Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan
memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep
dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk
memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan
alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran
dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali
Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara
Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro
pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh
Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa
Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk
mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk
mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras
oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak
kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme
kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun
dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini
mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin
pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang
diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang
Orde Baru.
Kemudian pada tahun
1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan
tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50,
mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde
Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta
menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal
mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai
kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pelantikan Presiden
Soeharto.
Pada masa
pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok
tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi
yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat
sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal
(Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih
dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi,
Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan
ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang
tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun
1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur
dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca
Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori
Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional
lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun
sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down
effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi
pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri
dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada
donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga,
tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi
itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian
kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia
sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru
bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik
Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik,
Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa
itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan
(PPP),Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam
upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari
politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang
berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya
pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila
yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi
ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas
tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol
lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun
dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya
taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi,
muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas
tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto
dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan
Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi
Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu,
Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah
manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto
melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah
komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus
dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui
kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan
memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk
enam anaknya.
Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu
sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur
Islam.
Pada 1973 dia
memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral
college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh
mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua
partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan
Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta
partai-partai nasionalis digabungkan menjadiPartai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan
persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan
pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timursetelah
Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan
di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas
tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian
pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi
dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur
sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Soeharto dengan
Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada tahun 1998.
Korupsi menjadi beban
berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Petisi 50menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi
manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi
HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS
Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto
berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni,
pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan
keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa
Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan
Dua Tujuh Juli).
Kejatuhan Presiden
Soeharto
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Kejatuhan Soeharto
Foto Resmi Presiden
Soeharto terakhir (1998)
Pada 21 Mei 1998,
setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Presiden Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.
Wikisumber memiliki
naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Pernyataan Berhenti
Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut
Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan
selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa
hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat
menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode
1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia
terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah
beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak
pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada21
Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di
Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia,
B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya
yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan
kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu
faktor berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui
bahwa apa yang dilakukan IMF di Indonesia tidak lain sebagai katalisator
jatuhnya Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus
menyatakan “we created the conditions that obliged President Soeharto Left his
job"[8].
Di Credentials Room,
Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto
membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
“ Sejak beberapa waktu terakhir, saya
mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi
rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut
dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib,
damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya
persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya
telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan
Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite
Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang
memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk
melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa
dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan
Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan
keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena
itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh
memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di
dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai
Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei
1998.
Pernyataan saya
berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan
saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan
silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ
Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR
1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan
bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada
kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya
dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula
Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima
kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan
sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang
juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI. ”
Gambar dari majalah
Malaysia yang membuat liputan berita mengenai kemangkatan Soeharto.
Sesaat kemudian,
Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ
Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi
memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan
Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri
serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika
itu.
Tak berselang terlalu
lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto
membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang
berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik
permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan
konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap
kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan
konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap
berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam
keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung
tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan
kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta
keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah
terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan
masyarakat sendiri.
Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus
dugaan korupsi Soeharto
Setelah Soeharto resmi
mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai
menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang
bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan
Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan
mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6
September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai
kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib
dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk
mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998,
Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan
mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal
pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998,
Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil
tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998,
Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan
dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri,
dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar
negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto
menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik
kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni
1999, Soeharto mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia atas tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti
rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan
mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan
Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya
Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong
Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus
tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini
berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung,
sejak tahun 1999.
Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan
pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S.
selama 32 tahun masa pemerintahannya.[9]
Pada 12 Mei 2006,
bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkanSurat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto padatujuh
yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang
tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Kasus perdata
Bagian ini membutuhkan
pengembangan
Peninggalan
Bidang politik
Sebagai presiden
Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah
Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan
dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang
pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27
(saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin
(Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan
sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal
ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008]
Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya membuatnya
populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan
pengambilan keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh
masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak
Senang".
Bidang kesehatan
Untuk mengendalikan
jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang
menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan
berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan
hidup.
Bidang pendidikan
Dalam bidang
pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan
meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya,
proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan
Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat
bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Kematian
Pada Tanggal 27
Januari 2008 Pukul 13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat
Pertamina Jakarta. Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden
Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8,
Menteng, Jakarta[10]. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi
sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan
merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan
Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan
Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan
yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan
Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri
yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan,
menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor
Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang
mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul
16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan
presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta,
Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB[11] menuju Bandara Halim Perdanakusuma.
Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo
pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun,Solo, Senin
(28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB.
Almarhum diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB[12] bersamaan dengan
berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu
pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur
upacaraSusilo Bambang Yudhoyono.