BANYAK orang meradang dan keheranan dengan undangan makan siang dengan para pengamat politik yang pernah menjadi partner diskusinya semasa kampanye pemilihan presiden. Seperti dilansir salah satu laman media pendukung Paduka Presiden, Jokowi ingin meminta masukan terkait popularitas dirinya di mata rakyat. Tidak sekadar meminta saran, Jokowi juga berkenan menerima pelbagai masukan terkait komunikasi politiknya.
Perhatian Presiden pada popularitas, bila berita di media itu benar, sebenarnya sah-sah saja. Mungkin sebagai tolok ukur memperbaiki diri dalam memimpin. Lain halnya bila Presiden sekadar peduli para urusan popularitas lantaran sudah menjadi aksi spontannya selaku manusia pemuja ilusi citra. Citra dan persepsi publik dimaknai segala-galanya ketimbang memikirkan ketepatan kebijakan atau perasaan rakyat terhadap kebijakan penguasanya. Nah, inilah yang tampaknya menjadi keresahan publik yang mencibir ‘kebaikan’ Jokowi menghadirkan para pembelanya dari gerbong intelektual.
Hadirnya para intelektual cum pengamat itu sebaiknya kita maknai saja sebagai bentuk pertanggungjawaban mendukung habis Presiden semasa kampanye. Mereka pasti tahu seberapa jauh kapasitas Paduka Jokowi dalam mengemban amanah kelak. Nah, ketika yang dibayangkan muluk dan penuh optimisme itu kabur, absurd, bahkan kadang manipulatif, para intelektual itu masih punya tanggung jawab moril mengawal dan meluruskan pujaannya. Di sini letak kekuatan para intelektual. Tidak semata antusias menyanjung Jokowi pada masa kampanye, mencemasi jatah diri saat bagi-bagi kursi komisaris plat merah, atau bahkan—parahnya—apolog untuk kebijakan apa saja dari penguasa. Berani mendukung, berani bertanggung jawab. Munculnya umara sekelas Jokowi tidaklah tepat sekadar opsi cinta rakyat, mengingat ada peran tidak kecil para kaum berpendidikan. Mereka ini yang justru jadi mesin pengarah dan pemulus naiknya Jokowi.
Sayangnya, pemikiran memajukan dan mendukung fanatik Jokowi patut diragukan ketulusan dari berpikir reflektif dan melibatkan kata nurani. Bilamana ia sebelum masuk dalam barisan pemuja Jokowi diketahui mengkritik secara jujur soal atraksi mantan Wali Kota Solo ini, namun kemudian hari meralat atau berpura-pura tidak pernah melontarkan sindiran kepada Jokowi, inilah satu penanda ditanggalkannya adab seorang alim. Berpengetahuan dan memiliki beberapa kemungkinan memilih, tetapi mengabaikan suara hati dan menuruti nafsu, inilah ketika adab disingkirkan. Bila adab disingkirkan, tinggal tunggu sebuah tatanan baru yang tidak bisa diharapkan.
Menjelaskan konsepsi sang guru, Hamid Fahmy Zarkasyi, menyebutkan di pengantar buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (2003) bahwa “kerancuan dalam berpikir, korupsi ilmu pengetahuan, pelacuran ilmiah adalah akibat-akibat yang dihasilkan oleh rusaknya adab.” Dengan kata lain, secara dialektis bisa kita katakan apabila adab sudah dirusak para alim atau intelektual, itu pertanda ada kerancuan dalam berpikir, korupsi ilmu pengetahuan, dan pelacuran ilmiah. Adab yang diabaikan diproduksi oleh rancunya berpikir, dikorupsinya ilmu, dan dilacurkannya dunia ilmiah.
Padahal, bila adab sudah dirusak, masih menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, kerusakan “ini akan menghambat masyarakat dalam melahirkan pemimpin yang berkualitas di segala bidang dan lapisan, atau sebaliknya memaksa masyarakat melahirkan pemimpin gadungan yang cenderung menghancurkan masyarakat daripada membangunnya.”
Jelas sudah, adab yang rusak hanya lahirkan pemimpin gadungan; pemimpin yang bermental kecoa meski sudah dipuja-puja di mana-mana. Sebeken, seberintegritas, setajam analisis, dan setawadhu bagaiamnapun para alih/intelektual yang menyokong Jokowi, pastilah sia-sia dalam lahirkan kekuatan madani bernama pemimpin negarawan yang mengayomi. Yang ada kejadian demi kejadian seperti kita turut prihatin bersama saat ini. Tegasnya, ada ‘dosa’ orang-orang pintar yang selama ini dikenal gigih memperjuangkan Jokowi. Karena adab mereka selama menasihati dan membela Jokowi ada ketidakbijakan atau bahkan ketidakpedulian, tidak perlu heran kalau kemudian pemimpin yang lemah gemulai begitu mudahnya oleh ketua partai yang dihinggapi sindrom megalomania kekuasaan.
Orang-orang pintar mengabaikan potensi dirinya atau kealimannya untuk sekadar pilihan yang belum tentu selaras dengan pikiran fitrahnya. Contoh seorang intelektual muda yang pernah mengkritik kebiasaan Jokowi blusukan tapi kini duduk manis selaku menteri, ini contoh tiadanya adab. Tiadanyanya adab ini disebabkan rusaknya ilmu, terutama dalam hal worldview. Meski tampak bekas air wudhunya, atau dikenal rajin berjamaah di masjid, seorang alim/intelektual tetap bisa jadi pengandil lahirnya penguasa gadungan. Ilmunya tanpa worldview buat Islam; ia hanya pragmatis untuk ikuti gendang zaman, walaupun untuk itu dia harus melawan ingatan publik yang pernah bagian dari pengkritik sosko penguasa sekarang.
Ini artinya, ada kemungkinan pemimpin yang worldview-nya selaras dengan nilai-nilai universal yang dicanangkam Islam, walaupun dia diusung dari partai yang sekuler, ada potensi hadirkan kekuasaan yang junjung keadilan dan kebenaran. Kenapa bisa? Karena dia—meski tidak menyadari—masih mengindahkan nilai-nila yang masuk dalam konsepsi adab Islam. Yang terjadi kemudian biasanya para pendukung yang melawan adab itulah yang memusuhinya. Walikota Surabaya dan Bandung bisa disebut jadi contoh.
Hadirnya sosok-sosok pendukung setia Paduka untuk berikan nasihat, memang sudah keniscayaan, entah bagaimana caranya. Syukur dengan inisiatif Paduka sendiri mengundang mereka, yang berarti dia masih punya hati untuk menghargai orang yang berjasa dalam menasihatinya. Kita, dan siapa pun, berhak kecewa dan memohonkan ampun manakala orang-orang pintar itu justru jadi pendiam atau bahkan penyokong kekeliruan penguasa. Sudahlah adab rusak, ilmu yang melekat hanya jadi sampah peradaban.
Karena itu, biarkan saja hadirnya para intelektual atau alimin merapat ke penguasa dalam keran ingin mengawal perbaikan diri Paduka. Apatah lagi Paduka—sudah bukan rahasia lagi sejak kongres PDI Perjuangan di Bali sepekan sebelumnya—dalam jerat ketua partainya. Orang-orang baik yang kadung terjerembab dalam lingkaran Paduka Jokowi harus kita dorong untuk bertanggung jawab membentengi agar penguasa tercinta setengah rakyat Indonesia ini betul-betul sebagai figur pemimpin. Di tangan para alim itulah sekelas umara Jokowi diuji kapasitasnya ke depan; mau jadi negarawan ataukah mencukupkan diri sebagai petugas partai yang setia